Santo Dominikus Savio

Santo Dominikus Savio

6 mei

Santo Dominikus Savio

“…Lebih baik mati daripada berbuat dosa…”

 

St. Dominikus Savio adalah santo remaja, khususnya remaja putra. Ia juga diangkat menjadi pelindung paduan suara remaja putra, pelindung remaja yang diperlakukan tidak adil serta pelindung bagi mereka yang tak bersalah tetapi dikenai tuduhan palsu. Jadi, jika kalian punya masalah dengan teman-teman sebayamu, atau gurumu, atau orangtuamu, atau masalah remaja lainnya, janganlah ragu-ragu untuk memohon bantuan doa darinya.

MASA KECIL

Dominikus Savio dilahirkan pada tanggal 2 April 1842 di Riva, Chieri, Italia. Ia adalah seorang dari kesepuluh putra-putri pasangan Carlo dan Birgitta Savio. Ayahnya seorang pandai besi sementara ibunya seorang penjahit.

Sejak masa kecilnya, Dominikus amat mengasihi Tuhan. Suatu hari, saat usianya baru empat tahun, Dominikus menghilang. Ibunya, yang dengan cemas mencarinya, akhirnya mendapatkan puteranya itu di sudut ruangan dengan tangannya terkatup dan kepalanya tertunduk. Ia khusuk berdoa! Pada usia lima tahun, setelah memohon dengan sangat, Dominikus diijinkan untuk menjadi Putera Altar dan ketika usianya tujuh tahun, ia diperkenankan untuk menerima Komuni Kudus-nya yang Pertama.

Karena keluarganya miskin, Dominikus harus berjalan pulang balik sejauh 6 mil (± 9.6 km) setiap hari agar dapat bersekolah di kota terdekat. Suatu hari ketika gurunya sedang tidak berada di kelas, dua orang anak lelaki membawa masuk banyak sekali salju dan sampah serta menyumpalkannya ke dalam satu-satunya tungku pemanas ruangan. Ketika Pak Guru kembali, ia menjadi sangat marah. Kedua anak tersebut ketakutan, mereka mengatakan bahwa Dominikus-lah yang telah melakukannya. Pak Guru memaki-maki Dominikus dengan kata-kata yang keras dan tajam. Ia juga menambahkan jika saja ini bukan perbuatannya yang pertama, tentulah Dominikus telah diusirnya.

Dominikus tidak mengatakan sepatah kata pun untuk membela diri. Ia berdiri di depan kelas dengan kepala tertunduk. Keesokan harinya, tahulah Pak Guru apa yang sebenarnya telah terjadi. Segera ia menemui Dominikus dan bertanya mengapa ia tidak membela diri. Dominikus mengatakan bahwa ia khawatir Pak Guru akan mengeluarkan kedua anak nakal tersebut, padahal ia ingin sekali mereka diberi kesempatan.

“Lagipula,” katanya, “Saya ingat bahwa Yesus juga dituduh secara tidak adil dan Ia diam saja.”

ORATORIO ST. YOHANES BOSCO

Ketika St.Yohanes Bosco (biasa dipanggil Don Bosco) mencari tunas-tunas muda untuk dididik sebagai imam dalam Serikat Salesian, imam paroki di mana Dominikus tinggal menawarkan Dominikus kepadanya. Don Bosco mengujinya terlebih dahulu dan setelah pertanyaan-pertanyaannya selesai, Dominikus balik bertanya, “Bagaimana pendapat Romo tentang saya?”

“Menurut saya, engkau adalah bahan yang bagus,” jawab Don Bosco dengan senyum lebar.

“Baiklah, Romo adalah seorang tukang jahit yang hebat, jika bahannya memang bagus, ambillah saya dan jadikan saya jubah yang indah bagi Tuhan!”

Demikianlah, bulan Oktober 1854, pada usia dua belas tahun, Dominikus diterima sebagai murid di Oratorio St. Fransiskus dari Sales di Turin.

Di Oratorio, Dominikus dikenal oleh teman-teman serta para gurunya sebagai seorang anak yang periang, ramah, serta teliti. Walaupun masih anak-anak, ia dikaruniai Tuhan karunia-karunia rohani yang jauh melebihi usianya: mengenali mereka yang membutuhkan pertolongan, mengenali kebutuhan rohani orang-orang di sekitarnya, serta dikarunia kemampuan untuk bernubuat. Dominikus memperoleh kasih sayang serta hormat dari teman-temannya dan juga dari para imam. Dominikus tidak suka memaksakan kehendaknya serta tidak suka menonjolkan pendapat pribadinya, tetapi ia tidak akan takut untuk menentang segala yang salah dan selalu dapat memberikan alasan mengapa suatu tindakan dianggapnya salah.

Suatu ketika, Dominikus secara tidak sengaja mendengarkan rencana dua orang temannya yang hendak berkelahi dengan saling melempar batu. Dominikus berusaha sebaik-baiknya berbicara dengan mereka untuk membatalkan pertarungan yang berbahaya itu. Namun demikian, tampaknya tidak ada lagi yang dapat membujuk kedua anak itu untuk mengurungkan niat mereka. Bisa saja Dominikus melaporkan mereka kepada guru mereka, tetapi ia pikir hal itu hanya akan menunda perkelahian tanpa menyelesaikan masalah. Dominikus berhasil membujuk kedua temannya itu untuk menerima satu syarat rahasia darinya, yang akan dikatakan Dominikus sesaat sebelum perkelahian dimulai. Maka, pergilah Dominikus dengan kedua temannya itu. Ia membantu mereka mengumpulkan batu-batu guna persiapan perkelahian. Ketika semuanya sudah siap, Dominikus mengacungkan sebuah salib kepada mereka seraya berkata,

“Kalian berdua, sebelum kalian berkelahi, pandanglah salib ini dan katakanlah, `Yesus Kristus tidak berdosa dan Ia wafat dengan memaafkan pembunuh-pembunuh-Nya. Saya seorang berdosa, dan saya hendak menyakiti Yesus dengan tidak memaafkan musuh-musuh saya.’ Setelah berkata demikian, terlebih dahulu lemparkanlah batu pertama kalian kepadaku. Itulah persyaratanku.”

“Tetapi Dominic, kamu tidak pernah menyakiti aku atau pun bersalah kepadaku. Kamu adalah temanku,” protes mereka.

“Kamu tidak akan menyakiti aku, yang hanya seorang manusia yang lemah. Tetapi kamu, dengan tindakan-tindakanmu itu, akan menyakiti Yesus Kristus yang adalah Tuhan?”

Kedua temannya itu menundukkan kepala mereka karena malu dan menjatuhkan batu-batu mereka. Mereka saling memaafkan dan berjanji untuk menerima Sakramen Tobat.

INGIN MENJADI KUDUS

Dominikus Savio bertekad untuk menjadi seorang kudus. Ia pergi ke kapel untuk berdoa. Ia menolak untuk bermain dengan teman-temannya, mukanya pun diubah menjadi muram dan serius. Dua hari lamanya Dominikus bersikap demikian. Hingga, Don Bosco memanggilnya dan bertanya apakah ia sedang sakit.

“Tidak,” kata Dominikus, “sungguh saya dalam keadaan sehat dan bahagia.”

“Jika demikian, mengapa kamu tidak mau bermain seperti biasanya? Mengapa mukamu demikian muram?”

“Saya ingin menjadi kudus, Romo.”

Don Bosco memuji ketetapan hatinya tetapi menasehati Dominikus untuk senantiasa gembira dan tidak merasa khawatir; melayani Tuhan adalah jalan menuju kebahagiaan sejati.

Nasehat Don Bosco membuahkan hasil. Dominikus menjadi teladan sukacita bagi teman-temannya. Suatu hari, saat ia menyambut seorang anak baru di Oratorio, ia menjelaskan programnya.

“Di sini kita mencapai kekudusan dengan hidup penuh sukacita. Kita menghindarkan diri dari dosa -yaitu pencuri besar yang merampok rahmat Tuhan bagi kita serta merampas kedamaian hati; kita tidak melalaikan tugas, serta mencari Tuhan dengan segenap hati. Mulailah dari sekarang dan jadikan kata-kata ini moto hidupmu: Servite Domino in laetitia: Layanilah Tuhan dengan sukacita yang kudus.”

CINTA AKAN SAKRAMEN-SAKRAMEN GEREJA

Pengalaman membuktikan bahwa sumber pertolongan rohani terbesar diperoleh dari Sakramen Tobat dan Sakramen Ekaristi. Anak-anak yang menerima kedua sakramen ini secara teratur bertumbuh mencapai kedewasaan rohani. Dengan demikian hidup mereka menjadi teladan hidup Kristiani.

Sebelum bersekolah di Oratorio, Dominikus biasa menerima Sakramen Tobat dan Sakramen Ekaristi seminggu sekali. Sejak di Oratorio, ia melakukannya lebih sering. Suatu hari Dominikus mendengarkan khotbah Don Bosco :

“Anak-anak, jika kalian ingin menjaga diri agar senantiasa berada di jalan menuju Surga, saya nasehatkan kalian agar sesering mungkin menerima Sakramen Tobat dan Sakramen Ekaristi. Pilihlah seorang Bapa Pengakuan kepada siapa kamu dapat mengungkapkan dirimu secara bebas dan, jika bukan karena hal mendesak, janganlah berganti-ganti Bapa Pengakuan.”

Dominikus memilih seorang Bapa Pengakuan baginya. Pada awalnya ia mengakukan dosanya dua minggu sekali, kemudian seminggu sekali. Selesai menerima Sakramen Tobat, Dominikus diperbolehkan menerima Sakramen Ekaristi. Bapa Pengakuannya yang melihat perkembangan rohani Dominikus yang demikian pesat, menyediakan waktu untuk berbicara dengannya tiga kali seminggu. Di akhir tahun, ia mengijinkan Dominikus untuk menerima Komuni setiap hari! Dominikus amat senang, katanya :

“Jika saya merasa sedih dan khawatir, saya akan pergi kepada Bapa Pengakuan saya. Dialah yang akan menunjukkan Kehendak Tuhan bagi saya; karena Yesus Kristus sendiri telah menyatakan bahwa Bapa Pengakuan berbicara dengan Suara Allah. Juga, ketika saya menginginkan sesuatu yang amat penting, saya pergi menerima Komuni Kudus. Saya menerima Tubuh yang sama dengan yang ditawarkan Tuhan bagi kita di Salib, bersama dengan Darah-Nya yang Mulia, Jiwa-Nya dan Ke-Allahan-Nya. Apakah lagi yang masih saya inginkan untuk melengkapi kebahagiaan saya, selain dari saat saya kelak berhadapan muka dengan muka dengan-Nya, yang sekarang ini saya lihat di altar hanya dengan mata iman?”

Sebelum Komuni Pertamanya, Dominikus membuat empat janji yang ditulisnya dalam sebuah buku kecil. Janji-janjinya itu seringkali dibacanya kembali.  Tulisnya :

  • Saya akan menerima Sakramen Tobat dan Sakramen Ekaristi sesering mungkin.
  • Saya akan berusaha memberikan hari Minggu serta hari-hari libur sepenuhnya untuk Tuhan.
  • Sahabat terbaikku ialah Yesus dan Maria.
  • Lebih baik mati daripada berbuat dosa.

Janji keempat akan menjadi moto Dominikus sepanjang hidupnya. Beberapa kali ia memohon pada Tuhan untuk mengijinkannya meninggal sebelum ia sempat menyakiti Tuhan dengan melakukan dosa berat.

CINTA AKAN LAKU SILIH

Dengan semangat jiwanya, Dominikus memutuskan untuk makan hanya roti dan minum hanya air tawar setiap hari Sabtu demi menghormati Bunda Maria. Tetapi, Don Bosco melarangnya. Kemudian ia berkeinginan untuk berpuasa selama Masa Advent. Baru seminggu ia melakukannya, Don Bosco akhirnya mengetahui apa yang sedang dilakukannya dan menyuruhnya berhenti berpuasa. Ia mohon, setidak-tidaknya ia diijinkan untuk tidak sarapan, tetapi itu pun tidak diperbolehkan. Semua laku silih badani itu akan berakibat buruk bagi kesehatannya yang kurang baik.

Karena berpuasa dan berpantang dilarang, Dominikus mencari cara lain untuk melakukan silih. Ia meletakkan batu-batu serta ranting-ranting di tempat tidurnya sehingga ia tidak dapat tidur dengan nyaman. Ia juga ingin mengenakan baju kasar. Tetapi, itu pun dilarang. Dominikus mencari akal lain. Selama musim dingin ia tetap mengenakan selimut musim panas yang tipis. Suatu hari, Dominikus sakit dan harus tinggal di tempat tidur. Don Bosco datang menjenguknya. Dilihatnya bahwa Dominikus hanya mengenakan selimut tipis.

“Apa maksudnya ini? Kamu ingin mati kedinginan?”

“Tidak, Romo. Saya tidak akan mati kedinginan. Yesus di palungan dan di atas salib mengenakan kurang dari yang saya kenakan sekarang ini.”

Meskipun begitu, Dominikus dilarang keras melakukan laku silih badani apa pun tanpa ijin Don Bosco. Perintah ini ditaatinya, walau dengan hati sedih.

“Saya sungguh tidak tahu harus bagaimana. Tuhan bersabda bahwa tanpa silih, kita tidak dapat sampai ke Surga dan sekarang saya dilarang melakukan silih apapun; alangkah kecilnya kesempatan saya untuk masuk Surga!”

“Silih yang diminta Tuhan darimu ialah ketaatan,” jawab Don Bosco

“Tidakkah saya diperbolehkan melakukan silih yang lain juga?” pintanya

“Ya, menerima dengan sabar segala penghinaan serta menanggung dengan tabah segala cuaca: panas, dingin, hujan dan angin; jika kamu lelah janganlah bersikap buruk; jika kamu sakit, tetaplah bersyukur kepada Tuhan.”

“Tetapi, hal-hal demikian sudah termasuk dalam laku silih yang pokok.”

“Jika demikian, kerjakanlah segala sesuatu dengan penuh sukacita, bersedialah menanggung segala sesuatu demi cintamu kepada Tuhan, maka pastilah kamu beroleh belas kasih daripada-Nya.”

Dominikus merasa puas dengan jawaban itu dan ia pergi dengan gembira.

PENGENDALIAN DIRI

Merupakan suatu perjuangan yang berat bagi Dominikus untuk mengendalikan pandangan matanya, karena perangainya yang lincah dan suka mengamati. Ia menceritakan kepada seorang teman bahwa pertama kali ia melatihnya, perjuangannya demikianlah hebat hingga membuat kepalanya sakit. Namun demikian, pada akhirnya, ia berhasil menguasai matanya sepenuhnya hingga mereka yang mengenalnya memberikan kesaksian bahwa tak pernah sekali pun Dominikus menggunakan matanya untuk melihat barang sekilas saja pemandangan yang tidak layak.

“Mata kita,” demikian katanya kepada teman-temannya, “adalah jendela. Seperti kalian hanya perlu melihat apa yang ingin kalian lihat lewat jendela, demikian jugalah dengan mata; mata akan menunjukkan kepada kita malaikat terang atau setan kegelapan, kedua-duanya berebut untuk menguasai jiwa kita.”

Suatu hari, seorang anak membawa ke sekolah sebuah majalah dengan banyak gambar-gambar tidak sopan. Sekejap saja anak-anak lelaki segera bergerombol di sekelilingnya ingin melihat juga gambar-gambar itu.

“Ada apa, ya?” Dominikus bertanya-tanya, dan ia pun pergi untuk melihatnya. Sekilas pandang saja sudah cukup baginya. Dirampasnya majalah itu dan dirobek-robeknya!

“Apa yang kalian pikirkan? Tuhan memberi kita mata sehingga kita dapat mengagumi keindahan karya-Nya; dan kalian menggunakannya, atau lebih tepat menyalahgunakannya, untuk melihat gambar-gambar yang mengerikan ini. Apakah kalian lupa akan apa yang sering dikatakan Tuhan: satu pandangan yang tidak benar saja dapat mengotori jiwa kita? Dan sekarang kalian memanjakan mata kalian dengan gambar-gambar cemar itu!”

“Oh,” protes seorang anak, “ini hanya sekedar untuk bersenang-senang.”

“Untuk bersenang-senang. Dan sementara itu kalian mempersiapkan diri kalian ke neraka!”

“Memangnya, apa sih salahnya melihat-lihat gambar ini?” protes teman yang lain.

“Bahkan lebih parah. Dengan tidak merasa bersalah, melainkan merasa diri benar, kalian telah memperbesar dosa kalian. Tidak tahukah kalian bahwa nabi Ayub, meskipun sudah tua dan rapuh, menyatakan bahwa ia mengadakan perjanjian dengan matanya agar matanya tidak memandang hal lain selain dari yang suci dan kudus?”

Tidak ada seorang pun yang berkata-kata lagi. Mereka semua sadar bahwa Dominikus benar.

Selain mengendalikan matanya, Dominikus juga menjaga lidahnya. Ketika orang lain berbicara, tak peduli pembicaraannya sesuai atau tidak sesuai dengan pendapat pribadinya, Dominikus selalu bersedia mendengarkan. Malahan seringkali ia menghentikan pembicaraannya sendiri untuk memberi kesempatan pada yang lain untuk berbicara. Lebih dari itu, jika seorang temannya mencari perkara dengannya, ia akan menahan diri dan menjaga lidahnya.

Suatu hari, Dominikus mengingatkan seorang anak yang memiliki kebiasaan buruk. Bukannya menerima nasehat dan memperbaiki sikapnya, anak itu malahan marah, memaki, memukul-mukul serta menyepak Dominikus. Mudah saja bagi

Dominikus untuk membalasnya karena dia lebih besar serta lebih kuat dari anak itu. Tetapi Dominikus memilih untuk memikul Salib Kristus. Meskipun wajahnya memerah, ia menguasai dirinya dan berkata :

“Kamu telah bersikap buruk kepadaku, tetapi aku memaafkanmu. Berusahalah untuk tidak bersikap demikian terhadap yang lain.”

Pada musim dingin, Dominikus menderita gatal-gatal pada tangannya. Bagaimanapun sakit rasanya, Dominikus tidak pernah mengeluh. Malahan, tampaknya ia bergembira karenanya.

“Semakin besar,” katanya, “akan semakin baik bagi kesehatan,” dan `kesehatan’ yang dimaksudkan olehnya adalah kesehatan jiwa.

Dominikus juga tidak pernah mengeluh tentang cuaca, atau peraturan-peraturan sekolah atau pun makanan di asrama. Sesungguhnya saat makan adalah kesempatan baginya untuk melakukan silih. Dengan senang hati ia akan menerima potongan-potongan makanan yang ditolak anak-anak lain karena terlalu asin, atau kurang asin, atau terlalu matang, atau pun kurang matang. Dominikus mengatakan bahwa makanan tersebut sungguh sesuai dengan seleranya.

Di waktu luangnya, Dominikus membersihkan sepatu, menyikat baju teman-temannya, menyapu, melayani mereka yang sakit serta melakukan pekerjaan-pekerjaan kecil lainnya dengan segala kerendahan hati :

“Semua orang melakukan apa yang mampu dilakukannya. Saya tidak mampu melakukan hal-hal yang besar, tetapi saya mau melakukan segala sesuatu, bahkan hal-hal yang remeh sekali pun, demi kemuliaan Tuhan; dan saya berharap dalam Belaskasih-Nya yang Tak Terbatas, Tuhan akan memandang dengan penuh belas kasih segala usaha saya yang tak berarti ini.”

Jadi, menyantap makanan yang tidak disukainya, mengorbankan apa yang disukainya, menjaga matanya dari pandangan yang tidak baik, mengorbankan keinginannya sendiri, rela menanggung penderitaan baik mental maupun fisik; hal-hal itulah yang menjadi laku silih Dominikus sepanjang hari dan setiap hari.

Dengan penuh semangat ia rela mati bagi dirinya sendiri agar Kristus dapat tinggal di dalamnya. Dengan tekun Dominikus berusaha sebaik-baiknya, bahkan dalam kesempatan terkecil sekali pun, untuk menyempurnakan keutamaan-keutamaannya di hadapan Tuhan.

DOA DAN NUBUAT

Salah satu dari sekian banyak karunia yang dilimpahkan Tuhan kepada Dominikus adalah karunia berdoa. Bahkan dalam permainan yang paling ribut sekali pun, pikirannya tertuju kepada Tuhan dan hatinya diangkatnya dalam doa.

Suatu ketika Dominikus menghilang dari pagi sampai saat makan malam. Don Bosco yang mencarinya, akhirnya menemukan muridnya itu di gereja, khusuk dalam doa. Ia sudah berada di sana selama enam jam, namun pikirnya Misa pagi masih belum selesai! Dominikus menyebut saat doa yang khusuk dan mendalam itu sebagai “penghiburanku.”

Dalam salah satu `penghiburan’ itu, Dominikus melihat suatu dataran luas yang diselimuti kabut dengan banyak orang meraba-raba dalam kabut. Kepada mereka datanglah sosok dengan jubah paus membawa obor yang menerangi sekitarnya, dan suatu suara mengatakan, “Obor ini adalah iman Katolik yang akan membawa terang bagi rakyat Inggris.”

Atas permintaan Dominikus, Don Bosco melaporkannya kepada Paus Pius IX. Paus mengatakan bahwa penglihatan itu meneguhkan niatnya untuk memberi perhatian khusus kepada Inggris.

DEVOSINYA KEPADA BUNDA MARIA

Dominikus memiliki devosi yang mendalam kepada Bunda Maria. Setiap hari ia melakukan laku silih untuk menghormatinya. Setiap kali memasuki gereja, Dominikus berlutut di altar serta berdoa,

“O, Bunda Maria. Aku berharap untuk selalu menjadi anakmu. Perolehkanlah bagiku rahmat agar aku lebih memilih mati daripada berbuat dosa dan melanggar kesucian.”

Satu tahun sebelum ajalnya ia berkata kepada Don Bosco:

“Romo, saya ingin melakukan sesuatu untuk Bunda Maria. Tetapi saya harus melakukannya dengan segera, karena jika tidak, saya takut semuanya akan terlambat.”

Maka atas persetujuan Don Bosco, Dominikus membentuk perkumpulan remaja yang diberinya nama “Persaudaraan Sejati dalam Bunda Maria yang Dikandung Tanpa Dosa”. Tujuan perkumpulannya adalah membantu teman-teman yang lain agar dapat lebih dekat dan akrab dengan Tuhan Yesus, sama seperti yang selalu dilakukan oleh Bunda Maria. Di samping kegiatan-kegiatan rohani, mereka menyapu, membersihkan sekolah serta memperhatikan anak-anak yang kurang diperhatikan oleh anak-anak lain. Perkumpulan itu berhasil, sampai sekarang masih ada dan berkembang.

Setelah kematiannya, Dominikus menampakkan diri kepada St. Yohanes Bosco, guru sekaligus romonya yang terkasih. Don Bosco bertanya kepadanya hiburan terbesar apa yang didapatnya saat kematiannya. Dominikus menjawab:

“Hiburan terbesar yang saya terima saat kematian saya adalah pertolongan dari Bunda Tuhan yang penuh kuasa dan kasih. Tolong sampaikan kepada teman-teman agar tidak lupa berdoa kepada Bunda Maria setiap hari sepanjang hidup mereka.”

AKHIR HIDUPNYA

Kesehatan Dominikus tidak pernah prima. Pada bulan Maret 1857 ia jatuh sakit dan dikirim pulang ke rumahnya di Mondonio. Kesehatannya semakin memburuk. Dokter menyatakan ia menderita radang paru-paru / Tuberculosis .

Cara pengobatan pada masa itu ialah dengan merobek pembuluh darah dan membiarkan `kelebihan’ darah mengalir keluar. Dalam kurun waktu empat hari, dokter telah mengiris lengannya sepuluh kali. Bukannya menyembuhkan, mungkin hal itu malahan mempercepat kematiannya. Imam dipanggil untuk memberikan Sakramen Terakhir. Dominikus meminta ayahnya mendaraskan doa-doa bagi mereka yang menjelang ajal. Ketika doa hampir selesai didaraskan, Dominikus mencoba duduk.

“Selamat tinggal, ayah.” bisiknya, “Romo mengatakan sesuatu padaku tetapi aku tidak ingat apa…”

Tiba-tiba wajahnya bersinar. Dominikus tersenyum bahagia serta penuh sukacita.

“Alangkah indahnya apa yang aku lihat!”

Kemudian Dominikus tidak berkata-kata lagi. Ia meninggal dengan tenang di rumahnya pada tanggal 9 Maret 1857 dalam usia empat belas tahun.

Jenasah Dominikus dimakamkan di Basilik Maria Pertolongan Orang Kristen di Turin, tak jauh dari makam pembimbingnya kelak, St. Yohanes Bosco.

Setelah kematiannya, St.Yohanes Bosco menuliskan riwayat hidup Dominikus sehingga gereja memproses kanonisasinya. Dalam sejarah gereja, Dominikus Savio merupakan orang kudus bukan martir yang termuda (belum genap 15 tahun) yang dikanonisasi.